Minggu, 14 Juli 2013

TEMA UTAMA HIDUP KITA




Hidup ini bagai buku. Semua buku yang kita baca selalu ada tema utamanya, yaitu pokok masalah yang mendasari kenapa buku itu ditulis. Semua bab yang ada di dalamnya, juga anak bab, alinea, catatan kaki, sampai pada titik dan koma, semua ditulis untuk mendukung tema utama. Buku yang ditulis tanpa ada tema utamanya akan centang perentang tanpa arah dan membingungkan saat dibaca, yang akhirnya hanya layak jadi bungkus tempe goreng dan masuk tong sampah. Begitu juga hidup kita, hidup yang tanpa tema tak layak untuk dikenang dan dicatat dalam sejarah. Orang-orang yang hidup tanpa tema, maka dia akan hidup tanpa arah dan tujuan.

Layaknya penulis cerita yang bertanggung jawab, begitu dia tahu tema utama yang akan dia tulis, maka dia  akan mati-matian berfikir, berusaha dan bekerja keras, mulai dari merancang karakter tokoh, mengadakan observasi, mengumpulkan data-data, membayangkan kemungkinan-kemungkinan masa depan tokohnya, menulis dialog demi dialognya dan merangkainya menjadi adegan demi adegan sampai menjadi babak demi babak, lalu lahirlah sebuah cerita yang jelas maksudnya, menarik, sekaligus dramatis dan inspiratif. Nah, sudahkah kita merancang tema utama hidup kita? Lalu memperjuangkannya dengan dengan totalitas waktu, jiwa dan raga melebihi seorang pengarang? Ataukah kita hanya sekedar mengalir untuk kemudian tersingkir? Atau jangan-jangan kita tak pernah sadar apa tema utama hidup kita?

Di jalan-jalan, pasar-pasar, pabrik dan kantor-kantor banyak sekali orang yang hidup tanpa tema, mereka menjalani hidupnya tanpa pegangan, jadi massa mengambang yang tak mampu menentukan sikap. Jika menghadapi sebuah persoalan mereka lebih memilih menjadi golput, masa bodoh dan tak tahu menahu. Mereka takut untuk bersikap. “Cari amannya sajalah,” kata mereka. Mereka menjadi golput bukan karena pilihan, tapi karena memang tidak mampu memilih. Meski usia  mereka sudah berumur dan mendekati liang kubur.

Orang yang menjalani hidupnya dengan tanpa tema, meski dia muslim, akan berpotensi besar untuk terjebak pada tema hidup orang lain atau terjebak pada tema-tema kecil yang remeh temeh dan tidak abadi: tema untuk berlomba-lomba memperkaya diri sendiri, mengejar pangkat dan berpuas-puas untuk menikmati hawa nafsu. Untuk mengejar itu semua, mereka rela main sikut, main sodok, main suap, mengintimidasi, memfitnah, menyingkirkan sampai membunuh orang lain bahkan saudaranya sendiri.

Kepastian tema utama hidup seseorang sangatlah menentukan langkah dan kreatifitasnya. Chairil Anwar, saat berusia 22 th dan sakit-sakitan, seorang dokter mengatakan bahwa usia Chairil tidak akan sampai 27 th jika dia terus hidup “bebas” dan dalam ketidak teraturan. Apa jawab Chairil? Karena dia sudah memastikan apa tema utama hidupnya, yaitu menjadi seorang penyair, dia menjawab, “Bagi saya hidup sampai usia dua puluh tujuh tahun sudah lebih dari cukup, akan banyak yang bisa saya perbuat.” Dan akhirnya dia pun membuktikan itu, dia jadi penyair nomor wahid di negeri ini dan berteriak lantang dalam sajaknya:

“Sekali berarti
sudah itu mati!”

Dalam sejarah kita mengenal begitu banyak tokoh yang rela masuk penjara, hidup dalam kemiskinan, dikejar-kejar toghut, menolak suap dan kemewahan demi menegakkan kebenaran. Mereka sadar betul bahwa kemapanan, kekuasaan, kemewahan dan popularitas bukanlah tema utama hidup ini. Itu semua hanyalah tema-tema kecil untuk mendukung tegaknya tema utama.

Dalam sejarah Islam, kita mengenal peristiwa monumental yang dilakukan oleh Khalid bin Walid,  saat menjadi panglima perang melawan tentara Romawi. Di tengah-tengah peperangan yang sedang berkecamuk, yang selama ini selalu dimenangkannya dengan gemilang, tiba-tiba Khalid menerima surat pemberhentian dirinya dari Khalifah Umar bin Khathab, bahwa kedudukannya sebagai panglima akan digantikan oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Khalid pun menerima putusan itu dengan rela, tidak marah dan protes. Kenapa? Karena Khalid tahu bahwa kedudukan dan pangkat bukanlah tema utama dalam hidupnya. Tema utama hidupnya adalah berjihad di jalan Allah, baik sebagai panglima maupun prajurit biasa.

Begitu juga, kenapa para Khulafa’urrasidin menjadi pemimpin-pemimpin yang hidup tanpa istana, tidak seperti raja-raja dari Romawi dan Persi yang hidup di Istana megah. Karena para Khulafa’urrasidin  itu sadar, sebagaimana diajarkan oleh  Rasulullah saw, bahwa istana megah bukanlah tema utama hidup mereka.

Lalu apa tema utama hidup kita? Dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman:

“Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (Adz Dzariat:56)

Beribadah pada Allah itulah tema utama hidup kita. Lebih spesifik lagi, saat terus menerus diteror oleh orang-orang musyrikin Quraisy, Rasulullah saw menjawab - pada Abu Thalib, pamannya - : “Paman, demi Allah, seandainya mereka itu meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku supaya aku menghentikan soal itu (yakni dakwah ini), aku tidak akan berhenti sebelum Allah memenangkan agamanya, atau aku binasa karenanya.”  

Inilah tema utama hidup kita, ibadah dan dakwah, dakwah dan dan ibadah. Di beberapa ayat yang lain Allah SWT juga berfirman bahwa manusia diciptakan untuk mengemban amanah, menjadi khalifah yang ditugasi untuk mengelola bumi.

Jadi sayang sekali kalau  bapak ibu, para sarjana, intelektual dan orang-orang terpelajar muslim negeri ini, yang sudah bersekolah bertahun-tahun dan mempelajari ilmu setinggi gunung, begitu lulus ternyata hanya terjerat pada tema-tema kecil dan tidak abadi. Sayang sekali kalau hidup yang hanya sekali ini hanya kita gadai untuk menjadi skrup dari tema hidup orang lain. Bukankah kita sudah berikrar, “La ilaha ilallah, wa ashaduana Muhammadar Rasulullah.”
Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.

Ibarat seorang aktor, untuk mampu menghayati sebuah peran yang akan kita mainkan kita harus mempelajari, mengobservasi, melatih, membiasakan diri dan akhirnya menyatu dengan peran tersebut. Begitu juga dengan ber-Islam, kita tidak akan mampu menghayati ibadah kita selama kita belum manyatu dengan ajaran–ajaran Islam itu sendiri. Kalau penyatuan diri dengan Islam itu tidak kita lakukan secara terus menerus, Islam kita akhirnya hanya sebatas teknis dan ibadah kita tidak mampu memberikan inspirasi untuk kerja-kerja kreatif dalam kehidupan kita sehari-hari.

Ramadhan ini, saat puasa membersihkan jiwa dari dosa-dosa, adalah saat yang tepat untuk merenung, menata kembali tema utama hidup kita, juga anak-anak dan istri kita. “Hidup bukanlah bilangan waktu, tapi bilangan kesadaran,” begitu ujar Sayid Qutb pada dunia. 

Tanah Baru, Depok.

@@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar