Hidup
ini bagai buku. Semua buku yang kita baca selalu ada tema utamanya, yaitu pokok
masalah yang mendasari kenapa buku itu ditulis. Semua bab yang ada di dalamnya,
juga anak bab, alinea, catatan kaki, sampai pada titik dan koma, semua ditulis
untuk mendukung tema utama. Buku yang ditulis tanpa ada tema utamanya akan
centang perentang tanpa arah dan membingungkan saat dibaca, yang akhirnya hanya
layak jadi bungkus tempe
goreng dan masuk tong sampah. Begitu juga hidup kita, hidup yang tanpa tema tak
layak untuk dikenang dan dicatat dalam sejarah. Orang-orang yang hidup tanpa
tema, maka dia akan hidup tanpa arah dan tujuan.
Layaknya
penulis cerita yang bertanggung jawab, begitu dia tahu tema utama yang akan dia
tulis, maka dia akan mati-matian
berfikir, berusaha dan bekerja keras, mulai dari merancang karakter tokoh,
mengadakan observasi, mengumpulkan data-data, membayangkan
kemungkinan-kemungkinan masa depan tokohnya, menulis dialog demi dialognya dan
merangkainya menjadi adegan demi adegan sampai menjadi babak demi babak, lalu
lahirlah sebuah cerita yang jelas maksudnya, menarik, sekaligus dramatis dan
inspiratif. Nah, sudahkah kita merancang tema utama hidup kita? Lalu
memperjuangkannya dengan dengan totalitas waktu, jiwa dan raga melebihi seorang
pengarang? Ataukah kita hanya sekedar mengalir untuk kemudian tersingkir? Atau
jangan-jangan kita tak pernah sadar apa tema utama hidup kita?
Di
jalan-jalan, pasar-pasar, pabrik dan kantor-kantor banyak sekali orang yang hidup
tanpa tema, mereka menjalani hidupnya tanpa pegangan, jadi massa mengambang yang tak mampu menentukan
sikap. Jika menghadapi sebuah persoalan mereka lebih memilih menjadi golput,
masa bodoh dan tak tahu menahu. Mereka takut untuk bersikap. “Cari amannya
sajalah,” kata mereka. Mereka menjadi golput bukan karena pilihan, tapi karena
memang tidak mampu memilih. Meski usia
mereka sudah berumur dan mendekati liang kubur.
Orang
yang menjalani hidupnya dengan tanpa tema, meski dia muslim, akan berpotensi besar
untuk terjebak pada tema hidup orang lain atau terjebak pada tema-tema kecil yang
remeh temeh dan tidak abadi: tema untuk berlomba-lomba memperkaya diri sendiri,
mengejar pangkat dan berpuas-puas untuk menikmati hawa nafsu. Untuk mengejar
itu semua, mereka rela main sikut, main sodok, main suap, mengintimidasi,
memfitnah, menyingkirkan sampai membunuh orang lain bahkan saudaranya sendiri.
Kepastian
tema utama hidup seseorang sangatlah menentukan langkah dan kreatifitasnya.
Chairil Anwar, saat berusia 22 th dan sakit-sakitan, seorang dokter mengatakan
bahwa usia Chairil tidak akan sampai 27 th jika dia terus hidup “bebas” dan
dalam ketidak teraturan. Apa jawab Chairil? Karena dia sudah memastikan apa
tema utama hidupnya, yaitu menjadi seorang penyair, dia menjawab, “Bagi saya
hidup sampai usia dua puluh tujuh tahun sudah lebih dari cukup, akan banyak
yang bisa saya perbuat.” Dan akhirnya dia pun membuktikan itu, dia jadi penyair
nomor wahid di negeri ini dan berteriak lantang dalam sajaknya:
“Sekali
berarti
sudah
itu mati!”
Dalam
sejarah kita mengenal begitu banyak tokoh yang rela masuk penjara, hidup dalam
kemiskinan, dikejar-kejar toghut, menolak suap dan kemewahan demi menegakkan
kebenaran. Mereka sadar betul bahwa kemapanan, kekuasaan, kemewahan dan
popularitas bukanlah tema utama hidup ini. Itu semua hanyalah tema-tema kecil
untuk mendukung tegaknya tema utama.
Dalam
sejarah Islam, kita mengenal peristiwa monumental yang dilakukan oleh Khalid
bin Walid, saat menjadi panglima perang
melawan tentara Romawi. Di tengah-tengah peperangan yang sedang berkecamuk,
yang selama ini selalu dimenangkannya dengan gemilang, tiba-tiba Khalid
menerima surat pemberhentian dirinya dari Khalifah Umar bin Khathab, bahwa
kedudukannya sebagai panglima akan digantikan oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
Khalid pun menerima putusan itu dengan rela, tidak marah dan protes. Kenapa?
Karena Khalid tahu bahwa kedudukan dan pangkat bukanlah tema utama dalam
hidupnya. Tema utama hidupnya adalah berjihad di jalan Allah, baik sebagai panglima
maupun prajurit biasa.
Begitu
juga, kenapa para Khulafa’urrasidin menjadi pemimpin-pemimpin yang hidup tanpa
istana, tidak seperti raja-raja dari Romawi dan Persi yang hidup di Istana
megah. Karena para Khulafa’urrasidin itu
sadar, sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah saw, bahwa istana megah bukanlah tema utama hidup mereka.
Lalu
apa tema utama hidup kita? Dalam Al Qur’an Allah SWT berfirman:
“Tiadalah aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepadaKu.”
(Adz Dzariat:56)
Beribadah
pada Allah itulah tema utama hidup kita. Lebih spesifik lagi, saat terus
menerus diteror oleh orang-orang musyrikin Quraisy, Rasulullah saw menjawab -
pada Abu Thalib, pamannya - : “Paman,
demi Allah, seandainya mereka itu meletakkan matahari di tangan kananku dan
bulan di tangan kiriku supaya aku menghentikan soal itu (yakni dakwah ini), aku
tidak akan berhenti sebelum Allah memenangkan agamanya, atau aku binasa
karenanya.”
Inilah
tema utama hidup kita, ibadah dan dakwah, dakwah dan dan ibadah. Di beberapa
ayat yang lain Allah SWT juga berfirman bahwa manusia diciptakan untuk
mengemban amanah, menjadi khalifah yang ditugasi untuk mengelola bumi.
Jadi
sayang sekali kalau bapak ibu, para
sarjana, intelektual dan orang-orang terpelajar muslim negeri ini, yang sudah bersekolah
bertahun-tahun dan mempelajari ilmu setinggi gunung, begitu lulus ternyata hanya
terjerat pada tema-tema kecil dan tidak abadi. Sayang sekali kalau hidup yang
hanya sekali ini hanya kita gadai untuk menjadi skrup dari tema hidup orang
lain. Bukankah kita sudah berikrar, “La
ilaha ilallah, wa ashaduana Muhammadar Rasulullah.”
Tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah.
Ibarat
seorang aktor, untuk mampu menghayati sebuah peran yang akan kita mainkan kita
harus mempelajari, mengobservasi, melatih, membiasakan diri dan akhirnya
menyatu dengan peran tersebut. Begitu juga dengan ber-Islam, kita tidak akan
mampu menghayati ibadah kita selama kita belum manyatu dengan ajaran–ajaran
Islam itu sendiri. Kalau penyatuan diri dengan Islam itu tidak kita lakukan
secara terus menerus, Islam kita akhirnya hanya sebatas teknis dan ibadah kita
tidak mampu memberikan inspirasi untuk kerja-kerja kreatif dalam kehidupan kita
sehari-hari.
Ramadhan
ini, saat puasa membersihkan jiwa dari dosa-dosa, adalah saat yang tepat untuk
merenung, menata kembali tema utama hidup kita, juga anak-anak dan istri kita.
“Hidup bukanlah bilangan waktu, tapi bilangan kesadaran,” begitu ujar Sayid
Qutb pada dunia.
Tanah
Baru, Depok.
@@@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar